Sabtu, 03 Mei 2014

PURNAMA SENJA

[Di Kaki Muria, Menyambut Purnama]
Senja kian merabunkan mata. Tepat saat bedug magrib ditabuh, kita masih terengah-engah berlarian menuju ladang. Katanya, pemandangan paling indah di jagat raya ini adalah terbenamnya mentari senja di kaki bukit. Setidaknya, ladang kita berada seratus meter dari puncak bukit, dan bisa menikmati perpisahan mentari. Seperti biasanya, kamu melenggokkan pinggulmu ke kiri dan ke kanan seakan menari gambyong menyalami malam menjelang. Aku hanya bisa tertawa sembari menyaksikan kawanan sapi yang mulai berjalan pulang memasuki kandangnya. Dingin, sudah menjadi selimut kami tiap malam.
Perutku mulai terguncang, yang sejak siang hanya berhuni dua butir umbi jalar. Aku mencoba merayumu untuk lekas pulang, menyantap hidangan malam yang disajikan bunda. Namun kau bersikukuh untuk tetap menatap langit, seolah-olah bakal ada pertunjukan luar biasa yang disajikan di sana. Benar saja, malamini purnama datang bersama selimut awan jingga. Lukisan alam yang memanjakan mata. Seketika kau ingin mengabadikan momen bulanan ini. Kau raih tanganku dan merapatkan jari-jariku dengan jarimu membentuk lingkaran. Seolah-olah kau ingin mengukur diameter bulan. Dengan bahasa sederhana dan terbata-bata kau bilang, “Ini untukku dan ini untukmu”. Entah apa yang kamu maksud dengan kata-kata itu, namun aku mengerti bahwa setidaknya kita sudah tau lengkung bulan itu seperti telur mata sapi. Bulat dan nikmat, selalu kita bagi berdua.

Kita memang sosok yang berbeda. Aku bisa dibilang anak yang beruntung, karena terlahir dengan normal, tampan, berkecukupan. Walau kita kembar, namun perbedaan fisik menjadi jurang pemisah antara dirimu dan diriku di mata warga sekitar. Kau terlahir sebagai penyandang autis, tak banyak orang mengenal istilah itu di kampungku. Mereka hanya menyebut dirimu sebagai anak aneh, bandel, dan suka bikin gara-gara. Terlebih, ketika operasi gagal yang merenggut tangan mungilmu. Dokter bilang lukamu sudah terinfeksi sehingga harus diamputasi. Namun, setahuku bermain perang-perangan di waktu magrib menyisakan mitos yang sangar dan menakutkan. Orang tua menyebut waktu itu adalah waktu candi ala, yang digambarkan seperti makhluk jahat yang menebarkan bala. Sementara aku percaya, bahwa tanganmu hilang karena digigit buta yg muncul di waktu candi ala.
Dengan segala keterbatasan, kau masih bisa membuat diriku tersenyum. Kau bilang dirimu mirip Pendekar Rajawali Yoko, kesatria buntung nan sakti mandra guna. Sayangnya pendekar itu memiliki senjata pedang pusaka yang ampuh, dan kamu hanya berpegang ranting dan gedebok daun pisang sebagai senjata. Rupanya kamu tidak kapok serangan dengan raksasa buta Candi ala, malahan menantangnya untuk karna tanding, seolah-olah kau adalah Daud kecil yang mampu mengalahkan raja zalim Jalut. Nanar matamu sangat dalam, begitu teduh dan penuh keceriaan. Menurutku, itulah bagian paling sempurna yang kamu miliki, aku bahkan iri ingin memilikinya.
Walaupun kau sering disebut-sebut sebagai aib, dicibir dengan sebutan produk gagal, kau tak patah arang. Melawan diskriminasi, tentunya menjadi hal terberat yang kau alami. Saat aku dan teman-teman kita bersekolah, merasakan nikmatnya belajar, mengaji, dan bertadarus Al-Quran, kau hanya bisa menggigit jari. Ku lihat kau tidak pernah menangis, kecuali saat kamu melihat bendera kuning atau semua benda yang berwarna kuning. Tingkahmu seperti orang yang bertemu malaikat Izrail, begitu takut dan gemetar. Saat itu pula kau dekap aku dan memintaku membacakan ayat Suci atau merapalkan doa untuknya.
Saat orang tua kita sudah terbuka pikirannya, mereka memberimu kesempatan untuk belajar, tentunya bersama kawan-kawan yang memiliki kesamaan dengamu. Kalau tidak autis, ya difabel. Sepengetahuanku, kau tidak begitu suka bergaul dengan orang-orang yang sama sepertimu memiliki keterbatasan. Katamu, kalau kau bermain dengan mereka tidak asyik karena kau pasti menjadi juaranya. Namun kalau kau bermain denganku dan kawan-kawan yang normal, kadang kala kau bisa memenangkah, kadang pula harus menggendong pulang setiap orang karena kalah. Sejak kau berada di sekolah barumu dan menetap di asramanya, kau jadi tampak murung. Kita sudah seperti terhalang tembok besar China, dan keteduhan matamu tak terasa lagi.
***
Sekarang aku hanya bisa menatapmu sebatas bingkai foto. Ragamu sekarang sudah menyatu dengan bumi, sembari menikmati purnama menerangi jalan pulangmu. Kau divonis dokter mengidap Rhabdomyosarcoma, jenis penyakit yang namanya saja sulit ku eja. Sayang aku mengetahui penyakit ini setelah membaca novel Surat Kecil Untuk Tuhan, yang ternyata pemeran utamanya memiliki penyakit yang sama denganmu. Yang ku lihat, wajahmu tak separah tokoh yang ada di novel itu. Hanya saja pipimu kelihatan lebih kendur, dan lagi-lagi tidak ada perubahan dari sorot matamu. Tetap teduh, ceria, dan seolah-olah ingin mewariskannya padaku.
[Di Ruang Tunggu, Ujung Purnama]
Aku hanya bisa mencucurkan air mata sembari mencengkeram erat tanganmu. Detik itu pun tiba, begitu tenang kau melewati sakaratul maut. Bahkan kau sempat memintaku untuk mengajarinya membaca doa sebagaimana dulu saat ia gemetar menghadapi warna kuning. Aku menuntun bibirmu mengucap syahadat. Lamat-lamat suaramu melemah, sengal nafasmu mulai melambat, dan perlahan kau memejamkan mata. Mata yang indah itu kini tertutup untuk selama-lamanya. Mungkin inilah isyarat yang kau berikan padaku saat purnama itu, bahwa separuh purnama dan senjaku adalah dirimu. Sekarang dirimu telah pergi, separuh purnama di matamu telah padam. Akan selalu ku simpan separuh purnama ini sampai usia senja nanti, hingga kita bisa menyatukan kembali purnama ini.
[Di Ruang Senja, Menunggu Purnama]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar