[Di Kaki Muria, Menyambut Purnama]
Senja kian
merabunkan mata. Tepat saat bedug magrib ditabuh, kita masih terengah-engah
berlarian menuju ladang. Katanya, pemandangan paling indah di jagat raya ini
adalah terbenamnya mentari senja di kaki bukit. Setidaknya, ladang kita berada
seratus meter dari puncak bukit, dan bisa menikmati perpisahan mentari. Seperti
biasanya, kamu melenggokkan pinggulmu ke kiri dan ke kanan seakan menari
gambyong menyalami malam menjelang. Aku hanya bisa tertawa sembari menyaksikan kawanan
sapi yang mulai berjalan pulang memasuki kandangnya. Dingin, sudah menjadi
selimut kami tiap malam.
Perutku mulai
terguncang, yang sejak siang hanya berhuni dua butir umbi jalar. Aku mencoba
merayumu untuk lekas pulang, menyantap hidangan malam yang disajikan bunda.
Namun kau bersikukuh untuk tetap menatap langit, seolah-olah bakal ada pertunjukan
luar biasa yang disajikan di sana. Benar saja, malamini purnama datang bersama
selimut awan jingga. Lukisan alam yang memanjakan mata. Seketika kau ingin
mengabadikan momen bulanan ini. Kau raih tanganku dan merapatkan jari-jariku
dengan jarimu membentuk lingkaran. Seolah-olah kau ingin mengukur diameter
bulan. Dengan bahasa sederhana dan terbata-bata kau bilang, “Ini untukku dan ini
untukmu”. Entah apa yang kamu maksud dengan kata-kata itu, namun aku mengerti
bahwa setidaknya kita sudah tau lengkung bulan itu seperti telur mata sapi.
Bulat dan nikmat, selalu kita bagi berdua.
Kita memang sosok
yang berbeda. Aku bisa dibilang anak yang beruntung, karena terlahir dengan
normal, tampan, berkecukupan. Walau kita kembar, namun perbedaan fisik menjadi
jurang pemisah antara dirimu dan diriku di mata warga sekitar. Kau terlahir
sebagai penyandang autis, tak banyak orang mengenal istilah itu di kampungku.
Mereka hanya menyebut dirimu sebagai anak aneh, bandel, dan suka bikin gara-gara.
Terlebih, ketika operasi gagal yang merenggut tangan mungilmu. Dokter bilang
lukamu sudah terinfeksi sehingga harus diamputasi. Namun, setahuku bermain
perang-perangan di waktu magrib menyisakan mitos yang sangar dan menakutkan.
Orang tua menyebut waktu itu adalah waktu candi ala, yang digambarkan seperti
makhluk jahat yang menebarkan bala. Sementara aku percaya, bahwa tanganmu
hilang karena digigit buta yg muncul di waktu candi ala.
Dengan segala
keterbatasan, kau masih bisa membuat diriku tersenyum. Kau bilang dirimu mirip
Pendekar Rajawali Yoko, kesatria buntung nan sakti mandra guna. Sayangnya
pendekar itu memiliki senjata pedang pusaka yang ampuh, dan kamu hanya berpegang
ranting dan gedebok daun pisang sebagai senjata. Rupanya kamu tidak kapok serangan
dengan raksasa buta Candi ala, malahan menantangnya untuk karna tanding,
seolah-olah kau adalah Daud kecil yang mampu mengalahkan raja zalim Jalut. Nanar
matamu sangat dalam, begitu teduh dan penuh keceriaan. Menurutku, itulah bagian
paling sempurna yang kamu miliki, aku bahkan iri ingin memilikinya.
Walaupun kau sering
disebut-sebut sebagai aib, dicibir dengan sebutan produk gagal, kau tak patah
arang. Melawan diskriminasi, tentunya menjadi hal terberat yang kau alami. Saat
aku dan teman-teman kita bersekolah, merasakan nikmatnya belajar, mengaji, dan
bertadarus Al-Quran, kau hanya bisa menggigit jari. Ku lihat kau tidak pernah
menangis, kecuali saat kamu melihat bendera kuning atau semua benda yang
berwarna kuning. Tingkahmu seperti orang yang bertemu malaikat Izrail, begitu
takut dan gemetar. Saat itu pula kau dekap aku dan memintaku membacakan ayat
Suci atau merapalkan doa untuknya.
Saat orang tua kita
sudah terbuka pikirannya, mereka memberimu kesempatan untuk belajar, tentunya
bersama kawan-kawan yang memiliki kesamaan dengamu. Kalau tidak autis, ya
difabel. Sepengetahuanku, kau tidak begitu suka bergaul dengan orang-orang yang
sama sepertimu memiliki keterbatasan. Katamu, kalau kau bermain dengan mereka
tidak asyik karena kau pasti menjadi juaranya. Namun kalau kau bermain denganku
dan kawan-kawan yang normal, kadang kala kau bisa memenangkah, kadang pula harus
menggendong pulang setiap orang karena kalah. Sejak kau berada di sekolah
barumu dan menetap di asramanya, kau jadi tampak murung. Kita sudah seperti
terhalang tembok besar China, dan keteduhan matamu tak terasa lagi.
***
Sekarang aku hanya
bisa menatapmu sebatas bingkai foto. Ragamu sekarang sudah menyatu dengan bumi,
sembari menikmati purnama menerangi jalan pulangmu. Kau divonis dokter mengidap
Rhabdomyosarcoma, jenis penyakit
yang namanya saja sulit ku eja. Sayang aku mengetahui penyakit ini setelah
membaca novel Surat Kecil Untuk Tuhan, yang ternyata pemeran utamanya memiliki
penyakit yang sama denganmu. Yang ku lihat, wajahmu tak separah tokoh yang ada
di novel itu. Hanya saja pipimu kelihatan lebih kendur, dan lagi-lagi tidak ada
perubahan dari sorot matamu. Tetap teduh, ceria, dan seolah-olah ingin mewariskannya
padaku.
[Di Ruang Tunggu, Ujung Purnama]
Aku hanya bisa mencucurkan air mata sembari mencengkeram erat tanganmu.
Detik itu pun tiba, begitu tenang kau melewati sakaratul maut. Bahkan kau sempat
memintaku untuk mengajarinya membaca doa sebagaimana dulu saat ia gemetar
menghadapi warna kuning. Aku menuntun bibirmu mengucap syahadat. Lamat-lamat
suaramu melemah, sengal nafasmu mulai melambat, dan perlahan kau memejamkan
mata. Mata yang indah itu kini tertutup untuk selama-lamanya. Mungkin inilah isyarat yang kau berikan padaku saat purnama itu, bahwa separuh purnama dan senjaku adalah dirimu. Sekarang dirimu telah pergi, separuh purnama di matamu telah padam. Akan selalu ku simpan separuh purnama ini sampai usia senja nanti, hingga kita bisa menyatukan kembali purnama ini.
[Di Ruang Senja, Menunggu Purnama]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar