Menelusuri jalan sepanjang 20 km memang bukan pekerjaan yang mudah. Di
bawah terik raja siang yang semakin menyeringai di tambah dahaga kerongkongan
kian membuat perjalanan ini bertambah berat. Walau kibasan lalu lalang
kendaraan meniupkan angin ke lubang tubuhku, masih tak menurunkan temperature
badan yang kepanasan ini. Ku tengok lukisan langit tak menggambarkan sedikitpun
tanda-tanda munculnya awan mendung. Hanya si Raja siang yang gagah perkasa
menghujamkan panah sinarnya, ditangkis perisai aspal jalan membuat hawa neraka
makin terasa.
Aku, sebut saja pemulung, bersama kawanan penghuni rumah kumuh
bercengkrama di ruas-ruas trotoar jalan. Berjalan dari satu tong sampah, bak
sampah, sampai ke pembuangan limbah industri plastik. Pekerjaan ini tentunya
bukan cita-cita, hanya saja keadaan yang menjadikan pemulung satu-satunya
profesi yang pantas buat kami, kaum pinggiran. Memungut sampah di setiap liku jalan atau
kotak-kotak sampah di trotoar menjadi semacam suratan takdir bahwa keberadaan
hidup kami bak sampah yang tak diinginkan. Miskin, bodoh, dan terasing.
Sebagaimana kawasan-kawasan elit yang menyantumkan warning: “Pemulung
dilarang masuk!”