Rabu, 30 April 2014

GUGUSAN JALAN

Menelusuri jalan sepanjang 20 km memang bukan pekerjaan yang mudah. Di bawah terik raja siang yang semakin menyeringai di tambah dahaga kerongkongan kian membuat perjalanan ini bertambah berat. Walau kibasan lalu lalang kendaraan meniupkan angin ke lubang tubuhku, masih tak menurunkan temperature badan yang kepanasan ini. Ku tengok lukisan langit tak menggambarkan sedikitpun tanda-tanda munculnya awan mendung. Hanya si Raja siang yang gagah perkasa menghujamkan panah sinarnya, ditangkis perisai aspal jalan membuat hawa neraka makin terasa.
Aku, sebut saja pemulung, bersama kawanan penghuni rumah kumuh bercengkrama di ruas-ruas trotoar jalan. Berjalan dari satu tong sampah, bak sampah, sampai ke pembuangan limbah industri plastik. Pekerjaan ini tentunya bukan cita-cita, hanya saja keadaan yang menjadikan pemulung satu-satunya profesi yang pantas buat kami, kaum pinggiran.  Memungut sampah di setiap liku jalan atau kotak-kotak sampah di trotoar menjadi semacam suratan takdir bahwa keberadaan hidup kami bak sampah yang tak diinginkan. Miskin, bodoh, dan terasing. Sebagaimana kawasan-kawasan elit yang menyantumkan warning: “Pemulung dilarang masuk!”

DI RUANG SEPI

















Aku bingung memulainya.
Saat daun-daun rontok dari dahannya,
dan bunga-bunga layu melepas aroma.
Aku termangu melihat laku.
Waktu yang egois memenggal suku
kata-kataku pudar berpendar
pada atmosfer duka dan hawa malas.
Dupa yang aku bakar, pena yang ku genggam
tak membuat percepatan meningkat.
Bersama atau sendiri, sepi
mengikat hari, hati, dan mati.
Arwahku terbang kembangkan senyuman,
tatap realitas, titip rasa was-was.
Aku berkelana mengarungi cita,
berkemas segera, jiwa tanpa raga.
Di kantor yang kosong, siang bolong.



(Di Ruang Sepi, 19/11/13)
 

SEKERAT PUISI HARIAN


THE BEGINING
Dalam kata hidup bermula
Dengan kata cinta bermakna
Melalui kata canda tawa tercipta
Hanya puisi, kata menyimpan misteri
Estetika dan relikui kehidupan
(Mashar: Oktober 2011)

STAGNASI














Sepertinya goresan tinta ini takkan habis
mengurai makna tatapan matamu yang sinis
kadar hati dan satuan pikiran
membuat indera perasaku mati rasa.
Keluh kesah tak lagi berguna
seperti raga yang kehilangan jiwa.
Kau tak hiraukan aku
walau hanya sekerjap mata, seulas senyum.
Tampaknya, acuhmu buatku luluh
asa dan rasa senantiasa tertahan,
konsistensi berujung stagnasi.
Ku tunggu kau pergi, dan
Kau tunggu ku mati.

KABAR LEGI BRATAWALI



Kanggo Kancaku kang daktresnani

Dicky Wahyudi
Kampus Universitas 17 Agustus
Semarang

Ora sedelok olehe kita sesrawungan karo deweke. Wis patang taun kapungkur, mulai kelas siji MA nganti kuliah sakniki, rasane kok ora ono bedane. Deweke isih rumangsa egois, durung bisa nrima aku lan kowe dadi kanca kang sejati. Padahal aku wis nglilakna apa wae kang kok karepake, supaya silaturahim iki tansah hayubagya nganti tekan besok tuwa.
Doni, kancamu kang tak critakke iki asale mung anak pinggiran. Deweke bisa sekolah amarga oleh beasiswa miskin kang digagas dening Dewan Yayasan. Aku ya ora nyana menawane wong pinggiran kaya deweke duwe gengsi kang gedhe, ora gelem direwangi apa-apa menawake katekan susah. Kaya ta pas sekolah ngadakke study tour seng butuh urunan kang ora setithik. Aku karo kowe wes karaya-raya ngumpulke duit kanggo ngajak deweke supaya bisa melu acara kuwi, e malah ora dianggep babar pisan. Jarene, "Aku gak butuh mbok kasiani, mengko meroi ana dalane." Rasa mendekel neng ati iki isih krasa, nanging sepadane kanca ya kudu ndukung lan pangerten. Ora urung suwe, Doni oleh duwit kanggo bayar urun. Mbuh saka ngendi dalane aku ya ora paham, tapi jarene deweke nyambi manol neng sawah bakdane mulih saka sekolah.

LENTERA MULAI MENYALA

Malam tak menyisakan setitik cahaya di ruangan gelap gulita. Ruangan itu bagai kolong yang tak memiliki celah untuk menyelipkan sinar rembulan. Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang tengah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan bayinya. Di dekatnya tampak seorang laki-laki yang mondar-mandir mencari-cari perabotan yang nantinya akan digunakan setelah anak keempatnya itu lahir. Minyak untuk menerangi ruangan telah habis. Kain yang nantinya untuk pembungkus bayi pun tidak ada. Sebagai lelaki, dia merasa tak berdaya melihat istrinya merintih kesakitan sementara suaminya hanya mondar-mandir tidak berbuat apa-apa.
“Pak, coba minta minyak ke rumah tetangga, siapa tahu mereka sudi meminjamkannya pada kita.” Saran sang istri sembari menahan perih.
“Tapi, aku sudah terlanjur berjanji untuk tidak menerima bantuan selain kepada Tuhan.” Kata suami dalam hati. Ia pun pergi meninggalkan rumah, berniat menenangkan hati istrinya untuk mencari minyak. Janji tetaplah janji, ia tak berani mengingkari. Ismail, begitu nama suami itu pulang dengan tangan hampa. Sesampai di rumah, ia menunggu kelahiran bayinya yang masih dalam proses persalinan. Tak kuasa menahan kantuk yang mendera, ia tertidur. Dalam mimpinya ia bertemu dengan sosok yang sangat terang parasnya, yang belum pernah ia temui sebelumnya. Namun rasanya ia sudah kenal dengan sosok tersebut, melihat ciri-ciri dan sifatnya yang agung. Ia baru menyadari, sosok itu adalah Junjungannya, Rasulullah SAW. Beliau menenangkan hati Ismail.

KADO PERNIKAHAN

Specially for my student, who will married..












Akan tiba saatnya
Jiwa ini terjerat cinta
Tak lagi sekedar permainan
Namun menjadi sebuah perjanjian
Cinta tulus ini
Terpadu juga dalam sebuah akad
Perjanjian diri tuk saling setia
Sehidup semati, menyatukan separuh jiwa
Saat akad terucap,
Resmi diri ini seutuhnya milikmu
Resmi hidup ini ku serahkan untukmu
Konsekuesikan ucap akad itu
Sebagai wujud cinta kita
Berjanjilah tuk katakan yang sebenarnya
Bahwa kita saling CINTA
(Akad, By: Violannisa)

MIMPI SAHABAT

















Jemari malam membelai,
Bersambut lambai kalbu yang masih sendu.
Waktu kian menggelinding di lengkung risau,
Kala sendiri masih meliputi.
Aku mengerti,
Mimpi yang kau sadur bercerita cinta tanpa dengkur.
Namun aku masih ingin terjaga,
Melahap santap garam hidup.
Andai mimpi dan hidup bisa disatukan,
Kata cinta tak perlu terucap.
Hanya saja, aku bukan malaikat,
Yang pandai memikat dewi malam.
Ceritakan saja semua mimpimu.
Luapkan saja asa rasamu,
hanya sebatas malam ini,
di saat bintang hati masih bersinar.
Bukankah begini, cara bintang kembar mencipta surya?
Bukankah sahabat adalah sinar malam yang paling  terang,
Saat semua bintang hati temaram?
Kabarkan pada sang malam,
Sinar itu, kita.

Selasa, 29 April 2014

TARIAN HUJAN















Hembus angin membelai rambut,
Melambai mengiyakan desas desus massa,
Kau, lagi-lagi kau memukau,
Mengekspresi diri bagai hujan, merindu reda.
Lentikan jari, desahan nafas saling berpagutan,
Mengiringi irama perkusi tifa,
Lenggokan pinggulmu, menanda lapar,
Gelengan kepalamu, isyarat kebodohan,
Tak samar, kau penuhi panggilan jiwa.
Kau tak lagi mengeram emas,
Bumimu saja enggan meneguk hujan,
Hanya menjadi pemirsa realita,
Hidupmu yang kian asing, terbelah dilema.
Bangsa tak lagi bangsa, Negara hanya boneka,
Ku lihat, kau masih menari hujan,
Menengadahkan tangan, berputar mengharap kebebasan,
Hujan yang melarutkan duka dan penindasan.