Sabtu, 03 Mei 2014

PURNAMA SENJA

[Di Kaki Muria, Menyambut Purnama]
Senja kian merabunkan mata. Tepat saat bedug magrib ditabuh, kita masih terengah-engah berlarian menuju ladang. Katanya, pemandangan paling indah di jagat raya ini adalah terbenamnya mentari senja di kaki bukit. Setidaknya, ladang kita berada seratus meter dari puncak bukit, dan bisa menikmati perpisahan mentari. Seperti biasanya, kamu melenggokkan pinggulmu ke kiri dan ke kanan seakan menari gambyong menyalami malam menjelang. Aku hanya bisa tertawa sembari menyaksikan kawanan sapi yang mulai berjalan pulang memasuki kandangnya. Dingin, sudah menjadi selimut kami tiap malam.
Perutku mulai terguncang, yang sejak siang hanya berhuni dua butir umbi jalar. Aku mencoba merayumu untuk lekas pulang, menyantap hidangan malam yang disajikan bunda. Namun kau bersikukuh untuk tetap menatap langit, seolah-olah bakal ada pertunjukan luar biasa yang disajikan di sana. Benar saja, malamini purnama datang bersama selimut awan jingga. Lukisan alam yang memanjakan mata. Seketika kau ingin mengabadikan momen bulanan ini. Kau raih tanganku dan merapatkan jari-jariku dengan jarimu membentuk lingkaran. Seolah-olah kau ingin mengukur diameter bulan. Dengan bahasa sederhana dan terbata-bata kau bilang, “Ini untukku dan ini untukmu”. Entah apa yang kamu maksud dengan kata-kata itu, namun aku mengerti bahwa setidaknya kita sudah tau lengkung bulan itu seperti telur mata sapi. Bulat dan nikmat, selalu kita bagi berdua.

HATI BATU (Part 1)

 Tetes-tetes air hujan masih membasahi pucuk dedaunan di seberang pandanganku. Aku sedikit acuh dengan suara gemuruh halilintar dan petir yang memecah biru langit, karena mataku asyik mengamati tetes-tetes air yang menuruni tulang dedaunan berakhir jatuh ke tanah yang basah. Tanah itu menelan butir-butir air perlahan hingga tidak nampak dari permukaan. Hujan mulai turun membuyarkan lamunanku, terlalu cepat butiran air itu memecah menjadi bah yang siap menggenangi tanah. Sungguh tanah yang malang. Sembari aku mengubah posisi duduk yang semula ku telungkupkan kedua kaki pada lingkaran tangan dan menindihkan dagu pada tulang hasta. Aku sekarang duduk relaks dengan merebahkan punggungku pada sandaran shofa di ruang tamu.
Di seberang jalan orang-orang berlalu-lalang meninggalkan tempat aktivitasnya, menuju tempat berteduh. Para ibu berhamburan mengangkat cucian yang sudah hampir kering, ada juga yang mengeluarkan ember dan baskom untuk menampung air hujan yang sudah hampir seminggu tidak turun. Air-air itu biasanya digunakan untuk minum, memasak, maupun untuk menyuci baju, karena kebanyakan warga kampung sekitar tempat kostku tidak memiliki sumur atau persediaan air di rumahnya. Aku lebih memperhatikan sebuah toko yang setengah jadi dibangun di seberang jalan, tinggal atapnya saja yang belum klaar. Para tukang dan pekerja bangunan itu bergegas mencari sebuah layar yang digunakan untuk menutup bagian atas bangunan yang baru saja dicor. Namun, ada satu hal yang menarik pandanganku. Seorang lelaki yang bertubuh kekar, berkulit coklat kehitam-hitaman, berrambut ikal, tetapi sayang ia berjalan tidak selayaknya orang biasa. Ia agak sempoyongan berjalan membawa satu sak semen menuju tempat berteduh. Bukan karena lima puluh kilo gram bobot semen yang ia bawa, karena aku tahu seberapa besar otot bisep-trisepnya. Tetapi, karena kaki kirinya seperti terkilir, atau bahkan lebih dari itu. Butiran keringatnya membanjiri sekujur tubuhnya, sederas air hujan yang jatuh di tanah basah tadi.

SEJENAK BERSAMA RASULULLAH

Langkah demi langkah kami menyusuri bukit-bukit penuh semak belukar, sambil ‎bergandengan tangan tanpa henti. Langkah ini semakin berat, seperti ada beban yang merantai di ‎pergelangan kaki kami. Sesekali kami menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan ‎meneriakkan vocal ‘A’ panjang untuk sekedar merelaksasikan fikiran dan jiwa kami yang penuh ‎cucuran peluh. Perjalanan ini sungguh melelahkan.‎
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan ‎‎(Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada ‎semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju ‎desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu ‎terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan ‎bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong ‎beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, ‎seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, ‎karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di ‎sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya ‎pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu ‎As yang pernah aku perlihatkan padanya.‎
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival ‎terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat ‎karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan ‎masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi ‎yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ‎ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru ‎berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. ‎Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama ‎mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, ‎waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak ‎seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. ‎Ia duduk termangu  di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu  di atas ‎tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha ‎khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ‎ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu ‎lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.‎

SOSOK YANG KU KENANG




















Aku beranikan diri bercerita
Pada pekat malam senyap
Getar bibirku mengelupas gundah
gurat nadi yg tk lagi berdarah
Malam tetap saja malam, hening
derai air mata buatnya geming
lepas sudah belenggu bayang
sosok wanita- wajah yg q kenang
cuma wayang, buatku kepayang
matanya sudah mencongkel hatiku,
hanya sementara, semu
aku pun buta, miskin bisu.
tinggal, biar kesendirian menjemu
hari-hari hanya munajat, istikharah sendu
Berpaling, pada Sang Pencipta penguasa kalbu
(Note FB, 12 November 2012)

MUNAJAT KATA














Jam pasir masih bergulir,
mengubur cita rasa kata,
dulunya yang manis, getir,
sekarang mati rasa,
kelu, menutup buku.
lembar demi lembar tersapu,
pena tinta melukis tanda tanya,
aku memadu kata, kau mencampur warna,
tampaknya, munajat kata tak lagi mustajab,
di sepertiga malam, aku hanya terlelap.
aku kau tak lagi kita.
sudah, cukupkan lelah,
aku harus menyerah, bawa rasa bersalah,
ubah, mulai langkah,
di penghujung fajar, mentari pasti merekah,
aku kamu biar masing-masing,
mencari celah, jeda, koma,
semoga dipertemukan di kurung buka titik dua,
tepat di bawah pohon kata, kita memanen makna
(Catatan FB 20 November 2013)

MEMBANGKITKAN SPIRITUALITAS SASTRA PUISI

“If the inner life is to be harmonious and enlightened, Divine qualities, Have to be developed and expressed in Daily life.” (Jika apa yang di dalam diri selaras dan memberi pencerahan kualitas Surgawi pastilah berkembang dan terekspresikan dalam kehidupan Sehari-hari) (Munda, 1997)
Bersastra tidak hanya mengarungi estetika, bukan sekedar meluapkan rasa, namun lebih dari itu. Sastra menjadi jelmaan kualitas pribadi penulis yang diekspresikan dalam larik kata. Sikap kritis, dewasa, romantis, sampai sikap nasionalis akan senantiasa terpantul dari baris sastra dan membangun karakter sastra itu sendiri. Termasuk mental spiritual penulis juga dipertaruhkan dalam membentuk sebuah karya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘spiritual’ berarti ‘berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin)’ (Alwi et.al, 2003). Menurut Michal Levin (2000), taraf tertinggi spiritualitas adalah jika spiritualitas sudah tak lagi menjadi sekadar pengetahuan, namun built in dalam sikap hidup (Sukidi, 2001)
Setidaknya, Musthofa Bisri atau Gus Mus telah membuktikan bahwa menulis puisi itu gerakan hati yang didasarkan semangat spiritual. “Ketika menulis, saya tidak berpikir apakah tulisan saya akan diterbitkan atau tidak; ketika akan diterbitkan pun, saya tidak berpikir apakah ada yang akan membaca atau tidak. Bahkan saya tidak berpikir apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Biar semua itu orang lain yang memikirkannya. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya tulis. Syukur alhamdulillah kepada Allah yang mengilhami saya menulis dengan sikap itu.” (Bisri, 2002, Negeri Daging: v).

KEPERGIANKU



Oleh: Dwitasari

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Cepat atau lambat pepatah ini akan terjadi pada siapapun, termasuk aku.
Iya, tentu saja ada airmata, tentu saja ada semilir duka.

Tapi aku percaya semua ini akan terlewati dan kembali baik-baik saja.
Aku juga manusia biasa, punya rasa rindu yang menggebu.
Aku rindu menjadi diriku sendiri, aku yang utuh.

Aku yang ku kenali, aku yang ku inginkan.

Memang semua tak lagi sama, tapi percayalah, ini yang terbaik.

Jangan ada benci apalagi caci, kita telah dewasa.
Bukankah dewasa berarti siap melupakan juga merelakan.
Kita masih bisa bertemu dalam nyata atau dalam doa.
Kita masih bisa saling membahagiakan.
Dalam peluk, dalam tawa, manis.
Ini bukan kepergian, kita hanya sama-sama ingin meraih tujuan.
Tolong, tolong jangan anggap ini perpisahan.
Hanya raga kita yang terpisah, tapi hati ini masih saling bertautan.
Tubuhku memang tak lagi bersama kalian.
Tapi, izinkan aku menyelamatkan hati.
Agar perbedaan ini tak jadi bumeranguntuk saling menyakiti.
Aku pergi karena aku ingin menjadi yang aku ingini.

LAGU PERPISAHAN

















Aku bertanya pada lilin,
Mengapa apimu padam diterpa angin,
Jawabnya, aku rapuh, leleh, saat dirimu jauh.
Sekarang kau tak seterang dulu,
Setengah hati berseri, setengah rasa berduka,
Mungkin detak jam memberimu isyarat,
Bahwa hidup, tak selamanya dekat.
Genggamlah lilin ini kawan,
biar kita tetap hangat dan bersahabat,
walau raga dan keadaan tak lagi terikat,
Namun sayup rindu ini takkan membuat jemu,
Lagu penuh tawa, gurau,
masih bersenandung mengiringi langkah pisah ini.
Aku, kamu, kita,
masih seirama, senada, seia sekata..


(Note FB, 31 August 2013)