[Di Kaki Muria, Menyambut Purnama]
Senja kian
merabunkan mata. Tepat saat bedug magrib ditabuh, kita masih terengah-engah
berlarian menuju ladang. Katanya, pemandangan paling indah di jagat raya ini
adalah terbenamnya mentari senja di kaki bukit. Setidaknya, ladang kita berada
seratus meter dari puncak bukit, dan bisa menikmati perpisahan mentari. Seperti
biasanya, kamu melenggokkan pinggulmu ke kiri dan ke kanan seakan menari
gambyong menyalami malam menjelang. Aku hanya bisa tertawa sembari menyaksikan kawanan
sapi yang mulai berjalan pulang memasuki kandangnya. Dingin, sudah menjadi
selimut kami tiap malam.
Perutku mulai
terguncang, yang sejak siang hanya berhuni dua butir umbi jalar. Aku mencoba
merayumu untuk lekas pulang, menyantap hidangan malam yang disajikan bunda.
Namun kau bersikukuh untuk tetap menatap langit, seolah-olah bakal ada pertunjukan
luar biasa yang disajikan di sana. Benar saja, malamini purnama datang bersama
selimut awan jingga. Lukisan alam yang memanjakan mata. Seketika kau ingin
mengabadikan momen bulanan ini. Kau raih tanganku dan merapatkan jari-jariku
dengan jarimu membentuk lingkaran. Seolah-olah kau ingin mengukur diameter
bulan. Dengan bahasa sederhana dan terbata-bata kau bilang, “Ini untukku dan ini
untukmu”. Entah apa yang kamu maksud dengan kata-kata itu, namun aku mengerti
bahwa setidaknya kita sudah tau lengkung bulan itu seperti telur mata sapi.
Bulat dan nikmat, selalu kita bagi berdua.