Selasa, 03 Juni 2014

Refleksi Jalan Karier

Perjalanan kini semakin melelahkan. Bimbang, ragu, putus asa senantiasa menjadi duri penghalang langkah. Setelah lepas dari beban kuliah, nampaknya babak hidupku semakin hilang arah. Kemantapan hati mulai goyah, dan aku perlahan kafir terhadap komitmen yang telah ku pegang erat berpuluh-puluh tahun. Persepsi akan kerja selalu berujung harta. Tatkala aku menyusuri jalan yang telah ku babat alas, rasanya semakin dalam ku susuri semakin lelah, dahaga, dan lapar. Hanya gerutu yang ku temu, tak ada emas ataupun seloka. Aku merasa hidupku akan berujung nista, apabila tak ada perubahan yang berarti. Mulai itu, dunia mengesampingkan Tuhan. Ibadah hanya soal sempat, rupiah semakin memikat. Begitu mudahnya hati manusia ditipudaya oleh dunia, sehingga aku mewakili manusia kehilangan kesadaran sosial dan spiritual.
Selepas menjalankan rutinitas kerja yang menguras emosi dan duit, gerutuku mulai menjadi-jadi. Caci-maki tak lagi gengsi. Ku tarik gas motor yg lama tak mencicipi servis bengkel, seraya menyulut jengkel. Pandanganku kabur, melebur bersama asap knalpot yang terbatuk-batuk. Tepat di persimpangan jalan, ku temui sosok-sosok yang menggugah mata batinku. Nampak dua tiga petani yang tampak letih melaksanakan sembahyang di tepi sungai. Bahkan baju yang dikenakan masih tampak berlumur lumpur, walau sudah berendam di sungai sembari mengambil air wudhu. Betapa teduhnya suasana itu, yang sedikitpun tak pernah terbayangkan dalam benakku –saat itu. Di tempatku, biasanya setinggi apapun titel panggilan seseorang, kalau sudah mencebur di sawah ntah daut, tanem, ngedos, panen, dsb apalagi kalo sistemnya borongan, ibadahnya dikesampingkan. Bahkan adzan pun tidak dihiraukan.
Mereka beda, entah apa benar yang aku lihat adalah para petani, atau malaikat yang menyamar menjadi sosok yang sangat ta’dzim menghadap sang pencipta. Sayup doa mereka panjatkan, mulai dengan syukur atas rezeki yang didapatkan setengah hari ini, mengucap shalawat kepada Nabi, sampai doa-doa yang tak pernah aku lafalkan sebelumnya. Pernah, tapi aku berdoa cuma dengan lisan. Tak kuasa air mata ini meleleh, walau tak sampai jatuh hanya bergumul di kelopak mata. Aku sadar, Tuhan memberi jalan rezeki kepada hamba-Nya yang bersabar dan bekerja keras, dan senantiasa memenuhi panggilan-Nya. Jalan itu terkadang sulit dan berliku, kadang pula licin atau mulus. Aku harap, jalan rezeki yang kutempuh, tak peduli bagaimanapun bentuknya, senantiasa memberi keberkahan dalam hidupku. Apa guna harta melimpah kalau tidak bisa memberi ketenangan hati, malah menjauhkan ku dari Sang Pemberi Rezeki. Tuhan, ridhoi perjalananku ini, doaku dalam hati, sembari menancap gas motorku untuk kembali pulang. Mengerjakan sisa-sisa harapan ku yang masih dalam angan-angan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar