Sabtu, 03 Mei 2014

SEJENAK BERSAMA RASULULLAH

Langkah demi langkah kami menyusuri bukit-bukit penuh semak belukar, sambil ‎bergandengan tangan tanpa henti. Langkah ini semakin berat, seperti ada beban yang merantai di ‎pergelangan kaki kami. Sesekali kami menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan ‎meneriakkan vocal ‘A’ panjang untuk sekedar merelaksasikan fikiran dan jiwa kami yang penuh ‎cucuran peluh. Perjalanan ini sungguh melelahkan.‎
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan ‎‎(Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada ‎semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju ‎desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu ‎terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan ‎bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong ‎beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, ‎seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, ‎karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di ‎sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya ‎pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu ‎As yang pernah aku perlihatkan padanya.‎
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival ‎terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat ‎karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan ‎masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi ‎yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ‎ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru ‎berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. ‎Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama ‎mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, ‎waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak ‎seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. ‎Ia duduk termangu  di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu  di atas ‎tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha ‎khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ‎ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu ‎lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.‎


Aku teringat waktu hari lebaran lima belas tahun yang lalu, Dimas kecil hidup dalam kegelapan ‎malam sendiri di kamar sempit berukuran dua meter persegi. Dari jauh aku lihat, di tepi jendela ia ‎mengamati rombongan takbir keliling menggenggam obor pembakar nafsu dan syetan seraya ‎memekikkan pujian-pujian Tuhan, Allahu Akbar. Aku berhenti sejenak mengamati gerak-geriknya ‎yang tampak seperti raga tak bernyawa. Seperti hilang semangat hidup dan bungkam terhadap ‎nada-nada kehidupan. Kedua bola matanya menatap tajam, tapi kosong. Aku mulai susuri lensa ‎matanya, menembus kornea, pupil, sampai ujung retina tak tergambar sedikitpun bayangan ‎kebahagiaan di hari kemenangan ini, selain gambaran fatamorgana masa lalunya. Gambar itu ‎melapisi seluruh jaringan matanya sehingga yang tampak hanya mata yang sayup penuh beban ‎hidup. Namun sekali lagi, aku tidak menemukan butiran air mata yang mengalir ke hilir pipinya. ‎Entah bendungan apa yang sanggup menahan muntahan kesedihan itu. Mungkin itu salah satu ‎keistimewaan yang dimiliki kedua bola mata hitamnya, hitam penuh teka-teki.‎
Lamunanku terhenti sejenak ketika kaki ini sudah memijak di batas desa. Desa Undaan tampak ‎asri, lengkap dengan atribut alam yang jauh dari kontaminasi metropolis. Kami segera mencari ‎kediaman kepala desa untuk sejenak berebah menghilangkan rasa capek. Sesampai di rumah kayu ‎bercat hijau muda dengan atap joglo khas Jawa, kami dipersilakan masuk. Secangkir kopi hangat ‎di suguhkan menemani rehat kami di rumah itu yang semakin lama diliputi kegelapan malam. ‎Sang purnama sudah siap menampilkan senyum indahnya.‎
Suasana malam itu semakin kondusif setelah tiba-tiba udara mendingin, sang rembulan meredup ‎terhalang hamparan mendung gelap. Gelap, semakin gelap keadaan sekitar malah semakin asyik ‎kami berbincang-bincang dengan tetua di kampung itu, sambil sesekali menyeruput kopi hangat ‎dihadapan kami. “Warga kampung sini amat bersahaja dalam menjalani hidup, selalu ‎menghormati tamu pendatang, tidak mau berbohong, mencuri sekecil apapun dan dalam bentuk ‎apapun. Namun sayang, akidah islam mereka masih bercampur dengan adat  leluhur. Sebagian ‎mereka masih percaya akan adanya cerita takhayul maupun tradisi sesajen. Walaupun saya sudah ‎sering mengingatkan, namun sepertinya kepercayaan itu sudah mendarah daging.” Tutur tetua ‎kampung dengan harapan kami bisa membantu memerangi kejahilan warganya.‎
Sayup suara air hujan bergemricik di sela-sela atap rumah mengalir ke talang air dan jatuh ke ‎pelimbahan menambah eksotis malam ini. Namun, keheningan itu pecah karena terdengar suara ‎aneh yang muncul dari arah seberang jalan. Suara itu seperti angin yang memecah partikel-partikel ‎air menjadi muatan listrik. Tapi, bukan itu. Suara itu disusul erangan keras seperti anak kecil yang ‎merengek minta segelas susu. Sontak saja kami berhambur menuju bibir pintu dan melihat apa ‎yang terjadi. Terlihat seorang anak usia delapan tahunan terjatuh tertimpa sepeda dengan drum ‎air terikat di bagian belakang sepeda. Sepertinya ia terjatuh karena terlalu berat beban yang ia ‎bawa sehingga terjungkal dan jatuh.‎
Dari ujung yang lain, Dimas menunjukkan sifat yang membuat kami semua kaget. Ia berlari ‎mengambil payung dari dalam ranselnya kemudian menghampiri anak kecil yang basah kuyup itu. ‎Pertama yang ia lakukan adalah mengulurkan payungnya kepada anak itu sambil melepas ikatan ‎drum pada bagian belakang sepeda. Kedua, ia menegakkan sepeda dan menyandarkannya pada ‎sebuah pohon jati di sebelah kanannya. Terakhir, ia membopong anak itu menuju emperan rumah ‎tetua kampung. Tampaknya kaki kiri bocah itu terkilir. Sepertinya Dimas merasa yang paling ‎mengerti dengan keadaan anak kecil. Setelah berteduh sejenak di emperan rumah dan meneguk ‎segelas air putih, anak itu mulai buka mulut menceritakan perihal kejadiannya. Setiap hari, ia ‎harus menyetor drum berisi 20 liter air mineral kepada para pelanggan setianya dengan mengayuh ‎sepeda mini Phoenix untuk membantu meringankan beban ekonomi ibunya. Ayahnya bekerja di ‎luar kota sudah tiga tahun tidak ada kabarnya. Mungkin penyakit medok-nya[2] kambuh, ‎sehingga dia membina rumah tangga baru di daerah kerjanya dan melupakan anak kecil berambut ‎kriting itu bersama ibunya.‎
Gumam batinku, nasib anak ini sungguh malang. Namun hal ini juga pernah di alami Dimas, si ‎Pahlawan Kesiangan. Rintik hujan dan rerontokan daun trembesi menjadi saksi perjuangan dan ‎alur hidup si Kara alias Dimas dengan mata sayupnya. Lima belas tahun lalu, ketika takbir ‎berkumandang dari pita-pita suara kami, menggelombang di setiap celah udara, mengayun dan ‎membumbung ke angkasa, berharap sang Khaliq bangga dan tersenyum mendengar pujian-pujian ‎kami lantunkan di masjid penjuru dunia.‎
Hari kemenangan telah tiba, hampir semua insan menjelma putih bersih dari ujung kepala sampai ‎ujung kaki bak bayi yang baru mencium aroma bumi. Suci dari dosa dan penuh kegembiraan. ‎Sekalian manusia datang berkumpul bersama sanak saudara anjang sana anjang sini, ‎bersilaturrahim sambil mengucap ”sugeng riyadhi”[3] dan saling bersalam-salaman meminta maaf. ‎Aku bersama keluargaku tak mau ketinggalan mengikuti tradisi ini. Kata pak Ustad, tradisi halal ‎bi halal adalah bentuk keberagamaan Indonesia sebagai bentuk refleksi ayat Tuhan “wal ‘afina ‎‎‘aninnas”.[4] Walaupun ini cuma tradisi yang tidak kita temukan di negara-negara Arab, tidak ‎ada salahnya mengabadikannya sebagai bagian dari hari raya.‎
Aku sudah tak sabar ingin melihat kondisi si Kara di kediamannya. Aku pun menuju rumahnya ‎dengan membawa seikat ketupat dan rantang berisi opor ayam untuk melihat apakah ada ‎perubahan pada tatapan matanya. Benar saja, setelah aku mengucapkan “assalamu’alaikum”, ia ‎menjawab dengan suara lantang dengan nada yang hampir-hampir aku tidak percaya kalau itu ‎suaranya. “Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh”, ia menjawab salamku dengan ‎lengkap. Nadanya pun satu oktaf lebih tinggi dari suaraku tadi. Ada apa dengan si-Kara ‎berkemeja kotak-kotak ini?‎
Dimas membukakan pintu dari kayu jati berukiran khas Jepara dan menyambut tatapan mataku ‎dengan mata yang berbinar-binar. Sayup matanya mulai terang benderang, tanpa aku telusuri pun ‎sudah tampak berkas kebahagiaan di urat syarafnya. Sudah tidak ada berkas kalut yang ‎membalut jaringan matanya. Apa gerangan yang mengubah keadaan temanku ini?‎
‎“Wah, ketupat bikinanmu sendiri , Kun?” ujarnya membuka dialog kami. Ia mulai menyapa aku ‎dengan laqob aneh, Jukun alias juru kunci. Alasan ia memilih panggilan itu karena aku sering ‎dijadikan pelabuhan kunci jawaban ketika ada ulangan kelas. Teman-teman menganggap IQ-ku ‎paling tinggi, jadi sering dimintai contekan.‎
‎“Yup, tapi yang mengisi dan memasak ya tetep mamiku lah!” jawabku dengan santai.‎
‎“Ngomong-omong tumben wajahmu sumringah[5], ada apa gerangan?” tanyaku mengintrogasi ‎perubahan mimik mukanya hari ini.‎
‎“Semalam aku mendapatkan sesuatu yang sangat spesial dari orang yang paling spesial.” Seperti ‎itulah jawaban manusia super aneh ini. Jawabannya singkat dan penuh teka-teki, penuh tanda ‎tanya.‎
‎“Maksudmu, mendapatkan apa? Dari siapa?” aku mengumpan pertanyaan balik berharap ‎mendapat jawaban yang lebih detail dan tidak absurd.‎
Ia menarik napas panjang sebagai kuda-kuda ketika bercerita. Napas Dimas memang agak pendek ‎tersengal-sengal karena adanya garis keturunan yang membawa bibit asma. Faktor hereditas yang ‎sering disebut-sebut sebagai faktor penyakit yang sulit dihindari itu malah membuat Dimas ‎semakin mahir dalam bercakap-cakap, terutama bidang logika linguistik atau mantiq. Sering orang ‎yang mengaku pintar atau dipandang pintar ketika ia bisa mengelabuhi pikiran orang lain dengan ‎bicaranya. Padahal omongannya kosong, rancu, dan orientasinya cuma satu, membuat orang lain ‎bingung dan diam tak berkutik untuk menimpalinya. Itulah omongan tukang debat, orator ‎provokatif, dan wartawan bodrek.‎
‎“Semalam aku bertemu dengan kekasih Tuhan, Rasulullah SAW. Ia memberiku sebuah wejangan ‎yang membuat aku sekarang lebih fine dalam menjalani hidup.”‎
Aku terperangah tidak percaya dengan ucapan Dimas, si Kara yang biasanya berpenampilan ‎dekil, berwajah kusut, dan berambut acak-acakan, sekarang menjelma menjadi lelaki gagah di ‎usianya yang relatif lebih tua dari aku.‎
‎“Coba ceritakan jluntrungane![6] Soalnya Rasulullah kan sudah wafat 15 Abad mendahului ‎kita.” Ujarku meragukan cerita temanku ini.‎
‎“Kamu pasti tidak percaya dengan ceritaku.” Ia sudah menyadari pikiranku tentang dia. Tanpa ‎ragu, ia pun menyambung cerita dalam mimpinya itu.‎
‎“Malam itu aku duduk termangu sendiri di teras rumah melihat teman-teman kecilku bermain ‎kembang api dan memakai baju barunya untuk lebaran esok hari. Aku berandai, kapan aku bisa ‎merasakan kebahagiaan seperti mereka? Bermain dengan gembira, merasakan kebersamaan ‎bersama keluarga, memakai baju baru dan menyalakan kembang api. Ah, daripada aku melamun, ‎mendingan ikut bermain bersama mereka saja, walau harus menerima konsekuensi berupa hinaan ‎dan sindiran. Belum sempat kaki ini melangkah tiba-tiba hujan gerimis turun, seketika ‎segerombolan teman-teman kecilku berhamburan menuju rumah masing-masing untuk berteduh.” ‎Ia berhenti bercerita. Sesaat ia menghela napas untuk mengisi penuh volume paru-parunya. ‎Tampaknya udara residu pada paru-parunya sudah habis untuk mendeskripsikan kejadian mimpi ‎malam itu.‎
Aku pun turut larut dalam cerita itu. Rasanya jiwa ini mencair mengikuti setiap untaian kata dan ‎nada bicaranya yang kadang naik-turun seperti dalang yang sedang pentas. Imajinasiku mulai ‎menyuting keadaan si-Kara dalam mimpinya, dengan cuaca gerimis dan hati yang tampak dingin, ‎membeku sendu.‎
Ia melanjutkan ceritanya. “Aku urungkan niat, dan kembali ke posisi semula. Tiba-tiba ada ‎seseorang yang menghampiri dari sisi kananku. Ia memanggiku dengan sebutan “ghulam” atau ‎anak kecil. Sejenak ia berbicara kepadaku tetapi aku tidak tahu apa maksudnya. Kemudian ia ‎membawaku ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku melihat sebuah ‎cahaya terang yang memenuhi ruangan itu, sampai-sampai aku ingin pingsan karena saking ‎silaunya. Di tengah berkas cahaya itu muncul seorang yang sangat tampan. Baru pertama kali ‎melihat, rasanya aku sudah ngefans banget, sudah dekat banget hatiku dengan dia. Sepertinya ia ‎lebih dari seorang malaikat.‎
‎“Sesosok lelaki itu tampan; bersinar wajahnya; baik akhlaknya; perutnya tidak gendut; tidak kecil ‎kepalanya; hitam matanya sangat hitam; bulu matanya lebat dan lentik; suaranya berwibawa; ‎lehernya bersih bersinar; jenggotnya lebat; alisnya tipis memanjang dan bersambung satu dengan ‎yang lain; jika diam berwibawa; jika berbicara, tutur katanya indah; sedap dipandang dari jauh ‎maupun dari dekat; manis bicaranya, jelas, tidak terlalu singkat dan tidak bertele-tele; bahkan ‎seperti untaian mutiara. Postur tubuhnya sedang; tidak terlalu tinggi, atau terlalu pendek sehingga ‎diremehkan orang lain……Dia tidak pernah terlihat cemberut atau menampakkan muka sebagai ‎orang bodoh.”[7] Dimas sepertinya paham betul deskripsi manusia dari balik cahaya itu, buktinya ‎aku yang mendengarnya tak sempat menghela napas karena takjub akan keindahan sosok itu.‎
‎“Perawakannya sedang. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Mukanya bercahaya tidak ‎putih sekali dan tidak coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus tetapi bergelombang.”[8]‎
‎“Kami saling memandang, dan beliau memberi salam kepadaku dengan lengkap. Beliau mulai ‎memperkenalkan diri dan menghiburku dengan menceritakan kisah kecil beliau kepadaku dengan ‎singkat, tetapi dalam banget. Rasanya aku sudah tidak sendirian lagi, karena beliau semulia-‎mulianya manusia sudah berkenan mengobati kesedihanku. Pada akhir perjumpaan kami, beliau ‎memberikan suatu pesan. Ia menyuruhku untuk membacakan shalawat kepada beliau ketika ‎hatiku merasa hampa dan diliputi rasa rindu pada beliau. Bahkan aku hampir hafal dengan sabda ‎beliau: “Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan mencurahkan ‎rahmat dan ampunan-Nya sepuluh kali.”[9]‎
Kemudian tiba-tiba ruangan yang terang benderang itu berubah menjadi gelap kembali. Aku ‎diantar pulang orang yang membawaku tadi dengan wajah penuh senyum –begitupun aku- seraya ‎berbicara kepadaku yang kali ini aku coba cerna dengan teliti. Ternyata ia mendendangkan ‎sebuah syair: Dia (Rasulullah) Orang jujur, pilihan Allah, mengajak pada kebaikan. Habis gelap, ‎terbitlah terang.[10]‎
‎“Setelah aku sampai di ambang pintu, sekonyong-konyong orang itu menghilang dan aku ‎terbangun dari mimpi. Telingaku disambut dengan gema takbir yang mengisi lorong-lorong udara, ‎serasa sesak berebut frekuensi. Aku mulai tersadar bahwa pertemuanku dengan Nur fauqa Nur itu ‎hanya di alam mimpi.” Ucap Dimas sedikit mendesah, melihat panorama mimikku yang sedikit ‎berkerut meragukannya. “Tapi, mimpi itu terasa nyata, bagaikan purnama yang bersinar tanpa ‎sedikitpun mendung di sekelilingnya.” lanjutnya, mencoba meyakinkanku.‎
‎“Ya,” aku mulai buka mulut untuk sekedar merespon cerita si-Kara. “Walaupun begitu, bertemu ‎dengan manusia pilihan Allah itu bukan sembarang orang mengalaminya. Mungkin bunga ‎tidurmu itu merupakan peringatan Allah agar kamu supaya engkau selalu optimis dalam menjalani ‎hidup ini, sebagaimana Rasulullah yang tidak pernah putus asa walaupun seribu satu rintangan ‎menghalangi tekadnya. Ingatlah, habis gelap terbitlah terang, setelah hujan pun segera muncul ‎pelangi, seperti kamu saat ini.” Kataku sambil menepuk pundaknya. Ia tampak sumringah dengan ‎tanggapanku terhadap ceritanya.‎
Kembali aku tersadar dari lamunan lima belas tahun silam itu, ketika butir-butir air hujan yang ‎mulai lengang menetes di keningku. Pak tetua kampung sudah mengantar anak kecil yang ‎terjatuh tadi, yang mengaku mempunyai nama Ajik, ke rumah ibunya. Naira mulai mencibirku ‎karena sejak tadi aku terbengong sendiri, yang tidak me-legewo[11] apa yang terjadi di ‎sekitarnya.‎
‎“Wah, Kang Jukun sedang berimprovisasi dengan kejadian tadi ya? Sudah bisa jadi bait-bait puisi ‎dong!” sindir si cewek super crewet yang berpipi kemerah-merahan karena terlalu tebal memakai ‎make up –terlalu menor menurutku. Yah, teman-teman memang terlalu memuji aku, sehingga ‎ketika sedikit saja aku terjatuh atau bahkan dijatuhkan rasanya teramat sakit. Apalagi kalau ‎mengenai sesuatu yang berbau puitis, pasti selalu menuding aku sebagai creatornya karena ‎kebiasaanku –bukan hobi- mengisi waktu senggang dengan membuat sajak pendek atau gurindam ‎sampai-sampai prosa agak panjang yang kemarin aku buat dicuri teman-teman untuk dimuat ‎majalah kampus. Aku menimpalinya dengan senyum getir, senyum khas untuk membalas ‎sindirannya -yaitu dengan sedikit menarik pipi kananmu ke atas diikuti kerdipan mata kanan. ‎
Kami semua kembali masuk rumah dan membahas agenda kegiatan KKN yang dibebankan ‎kepada kami selama kurang lebih empat minggu. Kami ditemani Pak Tetua Kampung berdiskusi ‎untuk menentukan kegiatan yang akan diadakan sebagai salam sapa pembuka kedatangan kami. ‎Usul mencuat dari bibir sana, bibir sini, layaknya sebuah rapat anggota Dewan yang sedang ‎membahas RUU. Dimas –karena dia sebagai ketua rombongan kami- mengetuk palu kali pertama ‎dengan keputusan: Akan diselenggarakan pengajian umum, sehubungan dengan masuknya bulan ‎Maulud atau Rabi’ul Awal, bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus perkenalan ‎dan  ramah tamah dari rombongan Mahasiswa. Dia kembali mengetuk palu kali kedua dengan ‎putusan: Pengajian dilaksanakan seminggu lagi di serambi Masjid al-Mufakat dengan ‎mengundang seluruh warga kampung. Ketukan palu ketiga, keputusan yang terakhir: Mengenai ‎anggaran belanja disokong dua pertiga oleh pemerintah desa dengan mengajukan proposal, ‎sisanya dari pihak mahasiswa sendiri, baik dengan uang pribadi atau mencari sponsor. Adapun ‎mengenai susunan acara akan dibahas lebih lanjut setelah perlengkapan udah clear. “Demikian ‎diskusi pada kesempatan kali ini, atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.” ‎Begitu kata penutup meeting malam ini. ‎
Aku sudah lelah. Mataku sudah tidak mau diajak kompromi lagi. Aku sudah menggelar tikar dan ‎bersiap-siap untuk merebahkan badan. Yah, kami harus menerima keadaan untuk tidur di lantai ‎beralaskan tikar, karena rumah Pak Tetua Kampung hanya memiliki dua kamar berukuran tiga kali ‎tiga meter. Yang satu digunakan oleh beliau bersama istrinya, dan kamar satunya lagi untuk Naira ‎dan Isma karena tidak mungkin kami berlima tidur sebangsal. ‎
Mataku sudah hampir meredup, seperti memiliki pseudo engsel yang hampir melekat sempurna. ‎Namun, hatiku masih terjaga. Dalam hati aku bermunajat kepada Allah, semoga Dia senantiasa ‎memberikan rahmat-Nya kepada kekasih-Nya Muhammad ibnu Abdullah SAW yang mengalir ‎sejauh dari ufuk timur sampai ufuk barat, sebanyak bilangan-bilangan bintang yang mengisi jagat ‎raya, seluas buih mengisi lautan; yang semoga uswatun hasanah beliau bisa merembes ke pori-pori ‎sifat dan perbuatan kami, menjadi pelipur lara jiwa-jiwa kami yang hampa, dan senantiasa ‎memenuhi labuhan kerinduan kami untuk bertemu dengan beliau. Amin.‎
Cerita malam itu ditutup dengan  hembusan angin malam yang membawa kabar gembira akan ‎datangnya sang fajar. Semburat sinar putih di setiap penjuru bumi menantang gelapnya malam, ‎pertanda gema-gema alam bersorak-sorai menyambut kumandang pujian Tuhan, Allahu Akbar. ‎Itulah waktu di mana sang Rahmatan lil ‘Alamin memijakkan kedua kaki dan tangan mungilnya ‎di bumi pertama kali dengan kepala mendongak ke atas pertanda kemuliaan cita dan cinta beliau ‎akan umat. Dalam rentang waktu yang lamanya seukuran jari tengah dan telunjuk yang merapat ‎ini, para pendusta dan para pecinta akan merindu syafaat beliau di tengah samudera gurun ‎mahsyar, menanti payung peneduh yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bibirnya selalu ‎basah mengucap: Allahumma Sholli wa Sallim ‘ala Sayyidina  Muhammad (Semoga Allah ‎senantiasa memberi rahmat ta’dzim serta keselamatan atas baginda Nabi Muhammad)‎
________________________________________________________________________________
‎[1] “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan ‎kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55)‎
‎[2] Main Perempuan
‎[3] Selamat hari raya
‎[4] “…dan mema'afkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran: 134)‎
‎[5] Berseri
‎[6] Penjelasan
‎[7] Sebagaimana deskripsi Ummu Ma’bad al Khuzai
‎[8] Sebagaimana deskripsi Anas bin Malik al Anshari ra
‎[9] Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah.‎
‎[10] Syair Abu Bakar as-Shiddiq ketika berjumpa dengan Rasul, diriwayatkan oleh Anas bin ‎Malik.‎
‎[11] Menghiraukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar