Perjalanan kini semakin melelahkan. Bimbang, ragu, putus asa
senantiasa menjadi duri penghalang langkah. Setelah lepas dari beban kuliah,
nampaknya babak hidupku semakin hilang arah. Kemantapan hati mulai goyah, dan
aku perlahan kafir terhadap komitmen yang telah ku pegang erat berpuluh-puluh
tahun. Persepsi akan kerja selalu berujung harta. Tatkala aku menyusuri jalan
yang telah ku babat alas, rasanya semakin dalam ku susuri semakin lelah,
dahaga, dan lapar. Hanya gerutu yang ku temu, tak ada emas ataupun seloka. Aku
merasa hidupku akan berujung nista, apabila tak ada perubahan yang berarti.
Mulai itu, dunia mengesampingkan Tuhan. Ibadah hanya soal sempat, rupiah
semakin memikat. Begitu mudahnya hati manusia ditipudaya oleh dunia, sehingga
aku mewakili manusia kehilangan kesadaran sosial dan spiritual.
Selasa, 03 Juni 2014
Sabtu, 03 Mei 2014
PURNAMA SENJA
[Di Kaki Muria, Menyambut Purnama]
Senja kian
merabunkan mata. Tepat saat bedug magrib ditabuh, kita masih terengah-engah
berlarian menuju ladang. Katanya, pemandangan paling indah di jagat raya ini
adalah terbenamnya mentari senja di kaki bukit. Setidaknya, ladang kita berada
seratus meter dari puncak bukit, dan bisa menikmati perpisahan mentari. Seperti
biasanya, kamu melenggokkan pinggulmu ke kiri dan ke kanan seakan menari
gambyong menyalami malam menjelang. Aku hanya bisa tertawa sembari menyaksikan kawanan
sapi yang mulai berjalan pulang memasuki kandangnya. Dingin, sudah menjadi
selimut kami tiap malam.
Perutku mulai
terguncang, yang sejak siang hanya berhuni dua butir umbi jalar. Aku mencoba
merayumu untuk lekas pulang, menyantap hidangan malam yang disajikan bunda.
Namun kau bersikukuh untuk tetap menatap langit, seolah-olah bakal ada pertunjukan
luar biasa yang disajikan di sana. Benar saja, malamini purnama datang bersama
selimut awan jingga. Lukisan alam yang memanjakan mata. Seketika kau ingin
mengabadikan momen bulanan ini. Kau raih tanganku dan merapatkan jari-jariku
dengan jarimu membentuk lingkaran. Seolah-olah kau ingin mengukur diameter
bulan. Dengan bahasa sederhana dan terbata-bata kau bilang, “Ini untukku dan ini
untukmu”. Entah apa yang kamu maksud dengan kata-kata itu, namun aku mengerti
bahwa setidaknya kita sudah tau lengkung bulan itu seperti telur mata sapi.
Bulat dan nikmat, selalu kita bagi berdua.
HATI BATU (Part 1)
Tetes-tetes air
hujan masih membasahi pucuk dedaunan di seberang pandanganku. Aku sedikit acuh
dengan suara gemuruh halilintar dan petir yang memecah biru langit, karena
mataku asyik mengamati tetes-tetes air yang menuruni tulang dedaunan berakhir
jatuh ke tanah yang basah. Tanah itu menelan butir-butir air perlahan hingga
tidak nampak dari permukaan. Hujan mulai turun membuyarkan lamunanku, terlalu
cepat butiran air itu memecah menjadi bah yang siap menggenangi tanah. Sungguh
tanah yang malang. Sembari aku mengubah posisi duduk yang semula ku
telungkupkan kedua kaki pada lingkaran tangan dan menindihkan dagu pada tulang
hasta. Aku sekarang duduk relaks dengan merebahkan punggungku pada sandaran
shofa di ruang tamu.
Di seberang
jalan orang-orang berlalu-lalang meninggalkan tempat aktivitasnya, menuju
tempat berteduh. Para ibu berhamburan mengangkat cucian yang sudah hampir
kering, ada juga yang mengeluarkan ember dan baskom untuk menampung air hujan
yang sudah hampir seminggu tidak turun. Air-air itu biasanya digunakan untuk
minum, memasak, maupun untuk menyuci baju, karena kebanyakan warga kampung
sekitar tempat kostku tidak memiliki sumur atau persediaan air di rumahnya. Aku
lebih memperhatikan sebuah toko yang setengah jadi dibangun di seberang jalan,
tinggal atapnya saja yang belum klaar. Para tukang dan pekerja bangunan
itu bergegas mencari sebuah layar yang digunakan untuk menutup bagian atas
bangunan yang baru saja dicor. Namun, ada satu hal yang menarik pandanganku.
Seorang lelaki yang bertubuh kekar, berkulit coklat kehitam-hitaman, berrambut
ikal, tetapi sayang ia berjalan tidak selayaknya orang biasa. Ia agak
sempoyongan berjalan membawa satu sak semen menuju tempat berteduh. Bukan
karena lima puluh kilo gram bobot semen yang ia bawa, karena aku tahu seberapa
besar otot bisep-trisepnya. Tetapi, karena kaki kirinya seperti terkilir, atau
bahkan lebih dari itu. Butiran keringatnya membanjiri sekujur tubuhnya, sederas
air hujan yang jatuh di tanah basah tadi.
SEJENAK BERSAMA RASULULLAH
Langkah demi langkah kami menyusuri bukit-bukit penuh semak belukar, sambil bergandengan tangan tanpa henti. Langkah ini semakin berat, seperti ada beban yang merantai di pergelangan kaki kami. Sesekali kami menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan meneriakkan vocal ‘A’ panjang untuk sekedar merelaksasikan fikiran dan jiwa kami yang penuh cucuran peluh. Perjalanan ini sungguh melelahkan.
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan (Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu As yang pernah aku perlihatkan padanya.
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. Ia duduk termangu di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu di atas tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan (Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu As yang pernah aku perlihatkan padanya.
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. Ia duduk termangu di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu di atas tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.
SOSOK YANG KU KENANG
Aku beranikan diri bercerita
Pada pekat malam senyap
Getar bibirku mengelupas gundah
gurat nadi yg tk lagi berdarah
Malam tetap saja malam, hening
derai air mata buatnya geming
lepas sudah belenggu bayang
sosok wanita- wajah yg q kenang
cuma wayang, buatku kepayang
matanya sudah mencongkel hatiku,
hanya sementara, semu
aku pun buta, miskin bisu.
tinggal, biar kesendirian menjemu
hari-hari hanya munajat, istikharah sendu
Berpaling, pada Sang Pencipta penguasa
kalbu
MUNAJAT KATA
Jam pasir masih bergulir,
mengubur cita rasa kata,
dulunya yang manis, getir,
sekarang mati rasa,
kelu, menutup buku.
lembar demi lembar tersapu,
pena tinta melukis tanda tanya,
aku memadu kata, kau mencampur warna,
tampaknya, munajat kata tak lagi mustajab,
di sepertiga malam, aku hanya terlelap.
aku kau tak lagi kita.
sudah, cukupkan lelah,
aku harus menyerah, bawa rasa bersalah,
ubah, mulai langkah,
di penghujung fajar, mentari pasti merekah,
aku kamu biar masing-masing,
mencari celah, jeda, koma,
semoga dipertemukan di kurung buka titik dua,
tepat di bawah pohon kata, kita memanen makna
(Catatan FB 20 November 2013)
MEMBANGKITKAN SPIRITUALITAS SASTRA PUISI
“If the inner life is to be
harmonious and enlightened, Divine qualities, Have to be developed and
expressed in Daily life.” (Jika apa yang di dalam diri
selaras dan memberi pencerahan kualitas Surgawi pastilah berkembang dan
terekspresikan dalam kehidupan Sehari-hari) (Munda, 1997)
Bersastra
tidak hanya mengarungi estetika, bukan sekedar meluapkan rasa, namun lebih dari
itu. Sastra menjadi jelmaan kualitas pribadi penulis yang diekspresikan dalam
larik kata. Sikap kritis, dewasa, romantis, sampai sikap nasionalis akan
senantiasa terpantul dari baris sastra dan membangun karakter sastra itu
sendiri. Termasuk mental spiritual penulis juga dipertaruhkan dalam membentuk
sebuah karya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘spiritual’ berarti ‘berhubungan dengan atau
bersifat kejiwaan (rohani, batin)’ (Alwi et.al, 2003). Menurut Michal Levin
(2000), taraf tertinggi spiritualitas adalah jika spiritualitas sudah tak lagi
menjadi sekadar pengetahuan, namun built in dalam sikap hidup (Sukidi, 2001)
Setidaknya,
Musthofa Bisri atau Gus Mus telah membuktikan bahwa menulis puisi itu gerakan
hati yang didasarkan semangat spiritual. “Ketika menulis, saya tidak berpikir
apakah tulisan saya akan diterbitkan atau tidak; ketika akan diterbitkan pun,
saya tidak berpikir apakah ada yang akan membaca atau tidak. Bahkan saya tidak
berpikir apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Biar semua itu
orang lain yang memikirkannya. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya
tulis. Syukur alhamdulillah kepada Allah yang mengilhami saya menulis dengan
sikap itu.” (Bisri, 2002, Negeri Daging: v).
KEPERGIANKU
Oleh: Dwitasari
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Cepat atau lambat pepatah ini akan terjadi
pada siapapun, termasuk aku.Iya, tentu saja ada airmata, tentu saja ada semilir duka.
Tapi aku percaya semua ini akan terlewati dan
kembali baik-baik saja.
Aku juga manusia biasa, punya rasa rindu yang
menggebu.Aku rindu menjadi diriku sendiri, aku yang utuh.
Memang semua tak lagi sama, tapi percayalah,
ini yang terbaik.
Jangan ada benci apalagi caci, kita telah
dewasa.
Bukankah dewasa berarti siap melupakan juga
merelakan.
Kita masih bisa bertemu dalam nyata atau dalam
doa.
Kita masih bisa saling membahagiakan.
Dalam peluk, dalam tawa, manis.
Ini bukan kepergian, kita hanya sama-sama
ingin meraih tujuan.
Tolong, tolong jangan anggap ini perpisahan.
Hanya raga kita yang terpisah, tapi hati ini
masih saling bertautan.
Tubuhku memang tak lagi bersama kalian.
Tapi, izinkan aku menyelamatkan hati.
Agar perbedaan ini tak jadi bumeranguntuk
saling menyakiti.
Aku pergi karena aku ingin menjadi yang aku ingini.
LAGU PERPISAHAN
Aku bertanya pada lilin,
Mengapa apimu padam
diterpa angin,
Jawabnya, aku rapuh,
leleh, saat dirimu jauh.
Sekarang kau tak
seterang dulu,
Setengah hati
berseri, setengah rasa berduka,
Mungkin detak jam
memberimu isyarat,
Bahwa hidup, tak
selamanya dekat.
Genggamlah lilin ini
kawan,
biar kita tetap
hangat dan bersahabat,
walau raga dan
keadaan tak lagi terikat,
Namun sayup rindu ini
takkan membuat jemu,
Lagu penuh tawa,
gurau,
masih bersenandung
mengiringi langkah pisah ini.
Aku, kamu, kita,
masih seirama, senada,
seia sekata..
(Note FB, 31 August 2013)
Rabu, 30 April 2014
GUGUSAN JALAN
Menelusuri jalan sepanjang 20 km memang bukan pekerjaan yang mudah. Di
bawah terik raja siang yang semakin menyeringai di tambah dahaga kerongkongan
kian membuat perjalanan ini bertambah berat. Walau kibasan lalu lalang
kendaraan meniupkan angin ke lubang tubuhku, masih tak menurunkan temperature
badan yang kepanasan ini. Ku tengok lukisan langit tak menggambarkan sedikitpun
tanda-tanda munculnya awan mendung. Hanya si Raja siang yang gagah perkasa
menghujamkan panah sinarnya, ditangkis perisai aspal jalan membuat hawa neraka
makin terasa.
Aku, sebut saja pemulung, bersama kawanan penghuni rumah kumuh
bercengkrama di ruas-ruas trotoar jalan. Berjalan dari satu tong sampah, bak
sampah, sampai ke pembuangan limbah industri plastik. Pekerjaan ini tentunya
bukan cita-cita, hanya saja keadaan yang menjadikan pemulung satu-satunya
profesi yang pantas buat kami, kaum pinggiran. Memungut sampah di setiap liku jalan atau
kotak-kotak sampah di trotoar menjadi semacam suratan takdir bahwa keberadaan
hidup kami bak sampah yang tak diinginkan. Miskin, bodoh, dan terasing.
Sebagaimana kawasan-kawasan elit yang menyantumkan warning: “Pemulung
dilarang masuk!”
DI RUANG SEPI
Aku bingung memulainya.
Saat daun-daun rontok dari dahannya,
dan bunga-bunga layu melepas aroma.
Aku termangu melihat laku.
Waktu yang egois memenggal suku
kata-kataku pudar berpendar
pada atmosfer duka dan hawa malas.
Dupa yang aku bakar, pena yang ku genggam
tak membuat percepatan meningkat.
Bersama atau sendiri, sepi
mengikat hari, hati, dan mati.
Arwahku terbang kembangkan senyuman,
tatap realitas, titip rasa was-was.
Aku berkelana mengarungi cita,
berkemas segera, jiwa tanpa raga.
Di kantor yang kosong, siang bolong.
(Di Ruang Sepi, 19/11/13)
STAGNASI
Sepertinya goresan tinta ini takkan habis
mengurai makna tatapan matamu yang sinis
kadar hati dan satuan pikiran
membuat indera perasaku mati rasa.
Keluh kesah tak lagi berguna
seperti raga yang kehilangan jiwa.
Kau tak hiraukan aku
walau hanya sekerjap mata, seulas senyum.
Tampaknya, acuhmu buatku luluh
asa dan rasa senantiasa tertahan,
konsistensi berujung stagnasi.
Ku tunggu kau pergi, dan
Kau tunggu ku mati.
KABAR LEGI BRATAWALI
Kanggo Kancaku kang daktresnani
Dicky Wahyudi
Kampus Universitas 17 Agustus
Semarang
Semarang
Ora sedelok olehe kita sesrawungan karo deweke. Wis patang taun kapungkur, mulai kelas siji MA nganti kuliah sakniki, rasane kok ora ono bedane. Deweke isih rumangsa egois, durung bisa nrima aku lan kowe dadi kanca kang sejati. Padahal aku wis nglilakna apa wae kang kok karepake, supaya silaturahim iki tansah hayubagya nganti tekan besok tuwa.
Doni, kancamu kang tak critakke iki asale mung anak pinggiran. Deweke bisa sekolah amarga oleh beasiswa miskin kang digagas dening Dewan Yayasan. Aku ya ora nyana menawane wong pinggiran kaya deweke duwe gengsi kang gedhe, ora gelem direwangi apa-apa menawake katekan susah. Kaya ta pas sekolah ngadakke study tour seng butuh urunan kang ora setithik. Aku karo kowe wes karaya-raya ngumpulke duit kanggo ngajak deweke supaya bisa melu acara kuwi, e malah ora dianggep babar pisan. Jarene, "Aku gak butuh mbok kasiani, mengko meroi ana dalane." Rasa mendekel neng ati iki isih krasa, nanging sepadane kanca ya kudu ndukung lan pangerten. Ora urung suwe, Doni oleh duwit kanggo bayar urun. Mbuh saka ngendi dalane aku ya ora paham, tapi jarene deweke nyambi manol neng sawah bakdane mulih saka sekolah.
LENTERA MULAI MENYALA
Malam tak
menyisakan setitik cahaya di ruangan gelap gulita. Ruangan itu bagai kolong
yang tak memiliki celah untuk menyelipkan sinar rembulan. Sayup-sayup terdengar
rintihan wanita yang tengah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan bayinya. Di
dekatnya tampak seorang laki-laki yang mondar-mandir mencari-cari perabotan
yang nantinya akan digunakan setelah anak keempatnya itu lahir. Minyak untuk
menerangi ruangan telah habis. Kain yang nantinya untuk pembungkus bayi pun
tidak ada. Sebagai lelaki, dia merasa tak berdaya melihat istrinya merintih
kesakitan sementara suaminya hanya mondar-mandir tidak berbuat apa-apa.
“Pak, coba
minta minyak ke rumah tetangga, siapa tahu mereka sudi meminjamkannya pada
kita.” Saran sang istri sembari menahan perih.
“Tapi, aku
sudah terlanjur berjanji untuk tidak menerima bantuan selain kepada Tuhan.”
Kata suami dalam hati. Ia pun pergi meninggalkan rumah, berniat menenangkan
hati istrinya untuk mencari minyak. Janji tetaplah janji, ia tak berani
mengingkari. Ismail, begitu nama suami itu pulang dengan tangan hampa. Sesampai
di rumah, ia menunggu kelahiran bayinya yang masih dalam proses persalinan. Tak
kuasa menahan kantuk yang mendera, ia tertidur. Dalam mimpinya ia bertemu
dengan sosok yang sangat terang parasnya, yang belum pernah ia temui
sebelumnya. Namun rasanya ia sudah kenal dengan sosok tersebut, melihat
ciri-ciri dan sifatnya yang agung. Ia baru menyadari, sosok itu adalah
Junjungannya, Rasulullah SAW. Beliau menenangkan hati Ismail.
KADO PERNIKAHAN
Specially for my student, who will married..
Akan tiba saatnya
Jiwa ini terjerat cinta
Tak lagi sekedar permainan
Namun menjadi sebuah perjanjian
Cinta tulus ini
Terpadu juga dalam sebuah akad
Perjanjian diri tuk saling
setia
Sehidup semati, menyatukan
separuh jiwa
Saat akad terucap,
Resmi diri ini seutuhnya
milikmu
Resmi hidup ini ku serahkan
untukmu
Konsekuesikan ucap akad itu
Sebagai wujud cinta kita
Berjanjilah tuk katakan yang
sebenarnya
Bahwa kita saling CINTA
(Akad, By: Violannisa)
MIMPI SAHABAT
Jemari malam membelai,
Bersambut
lambai kalbu yang masih sendu.
Waktu
kian menggelinding di lengkung risau,
Kala sendiri
masih meliputi.
Aku
mengerti,
Mimpi
yang kau sadur bercerita cinta tanpa dengkur.
Namun
aku masih ingin terjaga,
Melahap
santap garam hidup.
Andai
mimpi dan hidup bisa disatukan,
Kata cinta
tak perlu terucap.
Hanya
saja, aku bukan malaikat,
Yang pandai
memikat dewi malam.
Ceritakan
saja semua mimpimu.
Luapkan
saja asa rasamu,
hanya
sebatas malam ini,
di saat
bintang hati masih bersinar.
Bukankah
begini, cara bintang kembar mencipta surya?
Bukankah
sahabat adalah sinar malam yang paling
terang,
Saat semua
bintang hati temaram?
Kabarkan
pada sang malam,
Sinar
itu, kita.
Selasa, 29 April 2014
TARIAN HUJAN
Hembus angin membelai rambut,
Melambai mengiyakan desas desus massa,
Kau, lagi-lagi kau memukau,
Mengekspresi diri bagai hujan, merindu reda.
Lentikan jari, desahan nafas saling berpagutan,
Mengiringi irama perkusi tifa,
Lenggokan pinggulmu, menanda lapar,
Gelengan kepalamu, isyarat kebodohan,
Tak samar, kau penuhi panggilan jiwa.
Kau tak lagi mengeram emas,
Bumimu saja enggan meneguk hujan,
Hanya menjadi pemirsa realita,
Hidupmu yang kian asing, terbelah dilema.
Bangsa tak lagi bangsa, Negara hanya boneka,
Ku lihat, kau masih menari hujan,
Menengadahkan tangan, berputar mengharap kebebasan,
Hujan yang melarutkan duka dan penindasan.
Langganan:
Postingan (Atom)