Sabtu, 03 Mei 2014

HATI BATU (Part 1)

 Tetes-tetes air hujan masih membasahi pucuk dedaunan di seberang pandanganku. Aku sedikit acuh dengan suara gemuruh halilintar dan petir yang memecah biru langit, karena mataku asyik mengamati tetes-tetes air yang menuruni tulang dedaunan berakhir jatuh ke tanah yang basah. Tanah itu menelan butir-butir air perlahan hingga tidak nampak dari permukaan. Hujan mulai turun membuyarkan lamunanku, terlalu cepat butiran air itu memecah menjadi bah yang siap menggenangi tanah. Sungguh tanah yang malang. Sembari aku mengubah posisi duduk yang semula ku telungkupkan kedua kaki pada lingkaran tangan dan menindihkan dagu pada tulang hasta. Aku sekarang duduk relaks dengan merebahkan punggungku pada sandaran shofa di ruang tamu.
Di seberang jalan orang-orang berlalu-lalang meninggalkan tempat aktivitasnya, menuju tempat berteduh. Para ibu berhamburan mengangkat cucian yang sudah hampir kering, ada juga yang mengeluarkan ember dan baskom untuk menampung air hujan yang sudah hampir seminggu tidak turun. Air-air itu biasanya digunakan untuk minum, memasak, maupun untuk menyuci baju, karena kebanyakan warga kampung sekitar tempat kostku tidak memiliki sumur atau persediaan air di rumahnya. Aku lebih memperhatikan sebuah toko yang setengah jadi dibangun di seberang jalan, tinggal atapnya saja yang belum klaar. Para tukang dan pekerja bangunan itu bergegas mencari sebuah layar yang digunakan untuk menutup bagian atas bangunan yang baru saja dicor. Namun, ada satu hal yang menarik pandanganku. Seorang lelaki yang bertubuh kekar, berkulit coklat kehitam-hitaman, berrambut ikal, tetapi sayang ia berjalan tidak selayaknya orang biasa. Ia agak sempoyongan berjalan membawa satu sak semen menuju tempat berteduh. Bukan karena lima puluh kilo gram bobot semen yang ia bawa, karena aku tahu seberapa besar otot bisep-trisepnya. Tetapi, karena kaki kirinya seperti terkilir, atau bahkan lebih dari itu. Butiran keringatnya membanjiri sekujur tubuhnya, sederas air hujan yang jatuh di tanah basah tadi.
“Bunga, udah makan?” seseorang mengagetkan fokus penglihatanku. Aku menoleh melihat sumber suara itu. Dia adalah Eva, teman satu kost yang baru selesai mandi sore.
“Belum, masih hujan nih. Nggak bias keluar nyari lauk.”
“Emang kamu nggak masak?” Tanya Eva sambil mengeringkan rambutnya.
“Hari ini aku sibuk banget. Mulai dari kantor banyak tugas menumpuk, di kost cucian numpuk. Jadi aku cuma sempat menanak nasi doing!”
“Lha tadi barusan kamu mengamati apaan sih?” Dia mulai mengintrogasi gerak-gerikku tadi. Ternyata dari tadi aku diamati oleh cewek yang memiliki tahi lalat di kening ini.
“Enggak apa-apa, cuma rehat sejenak habis ngangkat jemuran tadi.” Timpalku sambil sesekali melirik lelaki yang berjalan sempoyongan tadi. Ternyata akurasi perhatian Eva tak selemah yang aku kira.
“Oh, dia ternyata. Kamu belum kenal sama dia? Dia itu putra pemilik toko yang dibangun itu, padahal tidak menutup kemungkinan kalau toko itu akan diberikan padanya namun dia bersikeras bekerja dengan tenaganya sendiri walaupun dengan kondisinya yang sulit. Kamu bisa lihat sendiri, kakinya pincang.” Dia mendeskripsikan cowok yang aku lirik itu, seakan-akan ia akrab dengan laki-laki itu.
“Dasar lelaki, egonya terlampau tinggi.” Ketusku sambil memalingkan wajah.
Sembari sesekali curi-curi pandang dengan lelaki asing itu, aku menyeruput kopi hangat yang sedari tadi disodorkan di hadapanku.
“Kayaknya kamu belum bisa move on dari mantanmu.” Eva mulai meramal hatiku. Aku menimpali dengan muka masam, “Udah, cuma aku masih pengen sendiri bulan-bulan ini. Pengen merasakan romantisme kerja bersama laptopku.”
Memang dalam hati, aku belum bisa melupakan sosok lelaki berwajah tirus dengan hidung mancung yang melekat di wajahnya. Rambut lurusnya, desah nafasnya, dan lirikan mata itu belum bisa sirna begitu saja. Empat tahun kita sudah memadu kasih, tapi harus berakhir dengan pahit. Cintaku kandas, saat dia memutuskan untuk memilih pekerjaannya sebagai konsultan di salah satu perusahaan internasional. Aku dan dia mengerti, jarak selalu menjadi penyakit cinta, cobanya membuat hati was-was dan tanda tanya. Sekarang aku tahu, bahwa ketika seorang lelaki harus memilih antara cinta dan karir, pasti dia lebih memilih pekerjaannya. Kalo dibilang matre, rasanya kurang tepat. Kalimat yang tepat adalah cowok adalah makhluk paling egois di dunia ini.
(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar