Tetes-tetes air
hujan masih membasahi pucuk dedaunan di seberang pandanganku. Aku sedikit acuh
dengan suara gemuruh halilintar dan petir yang memecah biru langit, karena
mataku asyik mengamati tetes-tetes air yang menuruni tulang dedaunan berakhir
jatuh ke tanah yang basah. Tanah itu menelan butir-butir air perlahan hingga
tidak nampak dari permukaan. Hujan mulai turun membuyarkan lamunanku, terlalu
cepat butiran air itu memecah menjadi bah yang siap menggenangi tanah. Sungguh
tanah yang malang. Sembari aku mengubah posisi duduk yang semula ku
telungkupkan kedua kaki pada lingkaran tangan dan menindihkan dagu pada tulang
hasta. Aku sekarang duduk relaks dengan merebahkan punggungku pada sandaran
shofa di ruang tamu.
Di seberang
jalan orang-orang berlalu-lalang meninggalkan tempat aktivitasnya, menuju
tempat berteduh. Para ibu berhamburan mengangkat cucian yang sudah hampir
kering, ada juga yang mengeluarkan ember dan baskom untuk menampung air hujan
yang sudah hampir seminggu tidak turun. Air-air itu biasanya digunakan untuk
minum, memasak, maupun untuk menyuci baju, karena kebanyakan warga kampung
sekitar tempat kostku tidak memiliki sumur atau persediaan air di rumahnya. Aku
lebih memperhatikan sebuah toko yang setengah jadi dibangun di seberang jalan,
tinggal atapnya saja yang belum klaar. Para tukang dan pekerja bangunan
itu bergegas mencari sebuah layar yang digunakan untuk menutup bagian atas
bangunan yang baru saja dicor. Namun, ada satu hal yang menarik pandanganku.
Seorang lelaki yang bertubuh kekar, berkulit coklat kehitam-hitaman, berrambut
ikal, tetapi sayang ia berjalan tidak selayaknya orang biasa. Ia agak
sempoyongan berjalan membawa satu sak semen menuju tempat berteduh. Bukan
karena lima puluh kilo gram bobot semen yang ia bawa, karena aku tahu seberapa
besar otot bisep-trisepnya. Tetapi, karena kaki kirinya seperti terkilir, atau
bahkan lebih dari itu. Butiran keringatnya membanjiri sekujur tubuhnya, sederas
air hujan yang jatuh di tanah basah tadi.
“Bunga, udah
makan?” seseorang mengagetkan fokus penglihatanku. Aku menoleh melihat sumber
suara itu. Dia adalah Eva, teman satu kost yang baru selesai mandi sore.
“Belum, masih
hujan nih. Nggak bias keluar nyari lauk.”
“Emang kamu
nggak masak?” Tanya Eva sambil mengeringkan rambutnya.
“Hari ini aku sibuk
banget. Mulai dari kantor banyak tugas menumpuk, di kost cucian numpuk. Jadi
aku cuma sempat menanak nasi doing!”
“Lha tadi
barusan kamu mengamati apaan sih?” Dia mulai mengintrogasi gerak-gerikku tadi.
Ternyata dari tadi aku diamati oleh cewek yang memiliki tahi lalat di kening
ini.
“Enggak
apa-apa, cuma rehat sejenak habis ngangkat jemuran tadi.” Timpalku sambil
sesekali melirik lelaki yang berjalan sempoyongan tadi. Ternyata akurasi
perhatian Eva tak selemah yang aku kira.
“Oh, dia
ternyata. Kamu belum kenal sama dia? Dia itu putra pemilik toko yang dibangun
itu, padahal tidak menutup kemungkinan kalau toko itu akan diberikan padanya
namun dia bersikeras bekerja dengan tenaganya sendiri walaupun dengan
kondisinya yang sulit. Kamu bisa lihat sendiri, kakinya pincang.” Dia
mendeskripsikan cowok yang aku lirik itu, seakan-akan ia akrab dengan laki-laki
itu.
“Dasar lelaki,
egonya terlampau tinggi.” Ketusku sambil memalingkan wajah.
Sembari
sesekali curi-curi pandang dengan lelaki asing itu, aku menyeruput kopi hangat
yang sedari tadi disodorkan di hadapanku.
“Kayaknya kamu
belum bisa move on dari mantanmu.” Eva mulai meramal hatiku. Aku menimpali
dengan muka masam, “Udah, cuma aku masih pengen sendiri bulan-bulan ini. Pengen
merasakan romantisme kerja bersama laptopku.”
Memang dalam
hati, aku belum bisa melupakan sosok lelaki berwajah tirus dengan hidung
mancung yang melekat di wajahnya. Rambut lurusnya, desah nafasnya, dan lirikan
mata itu belum bisa sirna begitu saja. Empat tahun kita sudah memadu kasih,
tapi harus berakhir dengan pahit. Cintaku kandas, saat dia memutuskan untuk
memilih pekerjaannya sebagai konsultan di salah satu perusahaan internasional.
Aku dan dia mengerti, jarak selalu menjadi penyakit cinta, cobanya membuat hati
was-was dan tanda tanya. Sekarang aku tahu, bahwa ketika seorang lelaki harus
memilih antara cinta dan karir, pasti dia lebih memilih pekerjaannya. Kalo
dibilang matre, rasanya kurang tepat. Kalimat yang tepat adalah cowok adalah
makhluk paling egois di dunia ini.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar