Perjalanan kini semakin melelahkan. Bimbang, ragu, putus asa
senantiasa menjadi duri penghalang langkah. Setelah lepas dari beban kuliah,
nampaknya babak hidupku semakin hilang arah. Kemantapan hati mulai goyah, dan
aku perlahan kafir terhadap komitmen yang telah ku pegang erat berpuluh-puluh
tahun. Persepsi akan kerja selalu berujung harta. Tatkala aku menyusuri jalan
yang telah ku babat alas, rasanya semakin dalam ku susuri semakin lelah,
dahaga, dan lapar. Hanya gerutu yang ku temu, tak ada emas ataupun seloka. Aku
merasa hidupku akan berujung nista, apabila tak ada perubahan yang berarti.
Mulai itu, dunia mengesampingkan Tuhan. Ibadah hanya soal sempat, rupiah
semakin memikat. Begitu mudahnya hati manusia ditipudaya oleh dunia, sehingga
aku mewakili manusia kehilangan kesadaran sosial dan spiritual.
......... Fresh and Friendly
...............Siklus Metamorfosa Kata Hati
Selasa, 03 Juni 2014
Sabtu, 03 Mei 2014
PURNAMA SENJA
[Di Kaki Muria, Menyambut Purnama]
Senja kian
merabunkan mata. Tepat saat bedug magrib ditabuh, kita masih terengah-engah
berlarian menuju ladang. Katanya, pemandangan paling indah di jagat raya ini
adalah terbenamnya mentari senja di kaki bukit. Setidaknya, ladang kita berada
seratus meter dari puncak bukit, dan bisa menikmati perpisahan mentari. Seperti
biasanya, kamu melenggokkan pinggulmu ke kiri dan ke kanan seakan menari
gambyong menyalami malam menjelang. Aku hanya bisa tertawa sembari menyaksikan kawanan
sapi yang mulai berjalan pulang memasuki kandangnya. Dingin, sudah menjadi
selimut kami tiap malam.
Perutku mulai
terguncang, yang sejak siang hanya berhuni dua butir umbi jalar. Aku mencoba
merayumu untuk lekas pulang, menyantap hidangan malam yang disajikan bunda.
Namun kau bersikukuh untuk tetap menatap langit, seolah-olah bakal ada pertunjukan
luar biasa yang disajikan di sana. Benar saja, malamini purnama datang bersama
selimut awan jingga. Lukisan alam yang memanjakan mata. Seketika kau ingin
mengabadikan momen bulanan ini. Kau raih tanganku dan merapatkan jari-jariku
dengan jarimu membentuk lingkaran. Seolah-olah kau ingin mengukur diameter
bulan. Dengan bahasa sederhana dan terbata-bata kau bilang, “Ini untukku dan ini
untukmu”. Entah apa yang kamu maksud dengan kata-kata itu, namun aku mengerti
bahwa setidaknya kita sudah tau lengkung bulan itu seperti telur mata sapi.
Bulat dan nikmat, selalu kita bagi berdua.
HATI BATU (Part 1)
Tetes-tetes air
hujan masih membasahi pucuk dedaunan di seberang pandanganku. Aku sedikit acuh
dengan suara gemuruh halilintar dan petir yang memecah biru langit, karena
mataku asyik mengamati tetes-tetes air yang menuruni tulang dedaunan berakhir
jatuh ke tanah yang basah. Tanah itu menelan butir-butir air perlahan hingga
tidak nampak dari permukaan. Hujan mulai turun membuyarkan lamunanku, terlalu
cepat butiran air itu memecah menjadi bah yang siap menggenangi tanah. Sungguh
tanah yang malang. Sembari aku mengubah posisi duduk yang semula ku
telungkupkan kedua kaki pada lingkaran tangan dan menindihkan dagu pada tulang
hasta. Aku sekarang duduk relaks dengan merebahkan punggungku pada sandaran
shofa di ruang tamu.
Di seberang
jalan orang-orang berlalu-lalang meninggalkan tempat aktivitasnya, menuju
tempat berteduh. Para ibu berhamburan mengangkat cucian yang sudah hampir
kering, ada juga yang mengeluarkan ember dan baskom untuk menampung air hujan
yang sudah hampir seminggu tidak turun. Air-air itu biasanya digunakan untuk
minum, memasak, maupun untuk menyuci baju, karena kebanyakan warga kampung
sekitar tempat kostku tidak memiliki sumur atau persediaan air di rumahnya. Aku
lebih memperhatikan sebuah toko yang setengah jadi dibangun di seberang jalan,
tinggal atapnya saja yang belum klaar. Para tukang dan pekerja bangunan
itu bergegas mencari sebuah layar yang digunakan untuk menutup bagian atas
bangunan yang baru saja dicor. Namun, ada satu hal yang menarik pandanganku.
Seorang lelaki yang bertubuh kekar, berkulit coklat kehitam-hitaman, berrambut
ikal, tetapi sayang ia berjalan tidak selayaknya orang biasa. Ia agak
sempoyongan berjalan membawa satu sak semen menuju tempat berteduh. Bukan
karena lima puluh kilo gram bobot semen yang ia bawa, karena aku tahu seberapa
besar otot bisep-trisepnya. Tetapi, karena kaki kirinya seperti terkilir, atau
bahkan lebih dari itu. Butiran keringatnya membanjiri sekujur tubuhnya, sederas
air hujan yang jatuh di tanah basah tadi.
SEJENAK BERSAMA RASULULLAH
Langkah demi langkah kami menyusuri bukit-bukit penuh semak belukar, sambil bergandengan tangan tanpa henti. Langkah ini semakin berat, seperti ada beban yang merantai di pergelangan kaki kami. Sesekali kami menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan meneriakkan vocal ‘A’ panjang untuk sekedar merelaksasikan fikiran dan jiwa kami yang penuh cucuran peluh. Perjalanan ini sungguh melelahkan.
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan (Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu As yang pernah aku perlihatkan padanya.
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. Ia duduk termangu di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu di atas tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.
Kami berlima: Aku, Dimas, Aji, Naira, dan Isma mendapat tugas dari Ketua Jurusan (Kajur) Tarbiyah IAIN Walisongo untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada semester pungkasan. Hampir 5 km kami berjalan dari tepian Jalan Karanganyar-Kudus menuju desa Undaan, sebuah perkampungan kecil yang di tengah hamparan pesawahan. Kampung itu terkenal dengan hasil bumi berupa sayur mayur dan buah-buahan, namun seiring dengan bertambahnya area industri di daerah sekitar banyak warga desa yang berbondong-bondong beralih profesi menjadi buruh pabrik. Kami menikmati perjalanan yang menguras tenaga ini, seraya saling melontarkan celoteh. Kali ini aku yang jadi sasaran baku tembak cibiran mereka, karena sampai sekarang aku masih menyandang status jomblo. Lain dengan teman-teman di sampingku ini, sudah mahir memainkan istilah cinta atau setidaknya sudah mencicipi indahnya pacaran. Hatiku semakin panas ketika Dimas ikut-ikutan meledek, seakan-akan ia membuka kartu As yang pernah aku perlihatkan padanya.
Aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirikkan mata ke arah Dimas. Dia adalah rival terberat di kampusku dalam beberapa ajang lomba karya ilmiah. Selain rival, ia juga sahabat karibku yang aku anggap seperti saudara kandung. Tak seperti aku yang hidup berkecukupan dan masih memiliki kedua orang tua, ia hidup cukup memprihatinkan. Semenjak ia kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang tukang becak meninggal sebagai korban tabrak lari, sedangkan ibunya meninggal kena serangan kanker leher rahim ketika mengandung adiknya yang baru berusia 7 bulan. Dokter memvonis harus diadakan aborsi, namun Allah berkehendak lain. Keduanya meninggal dunia. Bahkan Dimas tidak sempat menemani detik-detik terakhir bersama mereka, ketika itu ia sibuk menemani pamannya mengurusi administrasi rumah sakit. Namun, waktu itu tak sedikitpun aku lihat lelehan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Tak seperti tanah makam keluarganya yang masih basah dengan serpihan bunga bertabur di atasnya. Ia duduk termangu di antara kedua nisan itu, sambil mengorek-orekkan sebatang kayu di atas tanah seakan ingin menyampaikan isyarat hatinya kepada medan penghabisan itu. Yah, minha khalaqnakum, wa fiha mu’idukum, wa minha nukhrijukum tarotan ukhra[1], sepertinya kalimat ini yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga sebatang kara itu berharap Tuhan memutar waktu lebih cepat dan terus cepat agar bumi segera memuntahkan isi perutnya.
SOSOK YANG KU KENANG
Aku beranikan diri bercerita
Pada pekat malam senyap
Getar bibirku mengelupas gundah
gurat nadi yg tk lagi berdarah
Malam tetap saja malam, hening
derai air mata buatnya geming
lepas sudah belenggu bayang
sosok wanita- wajah yg q kenang
cuma wayang, buatku kepayang
matanya sudah mencongkel hatiku,
hanya sementara, semu
aku pun buta, miskin bisu.
tinggal, biar kesendirian menjemu
hari-hari hanya munajat, istikharah sendu
Berpaling, pada Sang Pencipta penguasa
kalbu
Langganan:
Postingan (Atom)